Senin, 04 Agustus 2014

images source: baladabocahdesa.blogspot.com

Ketatanegaraan Hindu tidak bisa lepas dari sistem Varna (dibaca: warna). Sistem Varna adalah sistem yang dipandang secara inhern melekat pada setiap masyarakat manusia, baik masyarakat Hindu maupun non Hindu. Disadari atau tidak, masyarakat pada dasarnya terpecah menjadi empat golongan masyarakat, yaitu golongan Brahmana, golongan Ksatria, golongan Vaisya dan golongan Sudra.

Sistem penggolongan ini TIDAK sama dengan sistem Kasta atau sistem Wangsa. Sistem kasta yang sering diidentikkan sebagai ajaran Hindu, sebenarnya bukanah ajaran Hindu. Veda sebagai kitab suci Hindu tidak pernah membenarkan bahwa pembagian golongan dalam masyarakat bersifat turun temurun berdasarkan hubungan darah.

Kasta yang dituduhkan pada masyarakat Hindu berawal dari bangsa Portugis yang mengarungi samudera ke dunia timur berdasarkan semangat Gold (memperoleh kekayaan), Glory (memperoleh kejayaan) dan Gospel (penyebaran agama/penginjilan). Caste dalam sejarah Portugis sudah berlangsung lama akibat proses feodalisme. Bahkan feodalisme ini terjadi pda semua masyarakat dunia.

Di inggris muncul penggolongan masyarakat secara vertikal dengan membedakan namanya seperti Sir, Lord, Duke, dan sebagainya. Gelar-gelar kebangsawanan Teuku dan Cut masih diterapkan kental di Aceh. Dan di Jawa sendiri diterapkan dalam pemberian nama Raden, Kanjeng Dalem dan sebagainya. Namun dalam perkembangannya akibat kebodohan para penganut Hindu sendiri menyebabkan seolah-olah mereka memahami sistem Varna sebagai sistem Kasta.

Menurut Bhagavad Gita 4.13, seseorang masuk Varna tertentu ditentukan oleh:
Guna (sifat, watak, tabiat, perangai atau ciri) yang melekat pada diri pribadinya.
Karma (pekerjaan atau profesi).

Jika seseorang memiliki sifat kebrahmanaan dan dalam kehidupan  memiliki profesi sebagai seorang spirituais, pemikir ilmuan, dengan memiliki kualifikasi; kedamaian hati (samah), terkendali diri (damah), kesederhanaan (tapah), kesucian (saucam), toleransi (ksantir), kejujuran (arjavam), berpengetahuan rohani (jianam), bijaksana (vijianam), agamis (astikyam), berpuas hati (santosah), pengampun (ksanthih), bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan kasih sayang (daya) (sesuai Bhagavad Gita 18.42 dan Bhagavata Purana 11.17.16) maka dia dapat dikatakan sebagai seorang Brahmana.

Namun Jika dia memiliki karakter kepahlawanan (sauryam), berwibawa (tejah), teguh hati (dhrtih), penuh inisiatip (daksyam), keberanian bertempur (yuddha), murah hati (danam), dan berjiwa pemimpin (isvara), kuat fiik (balam), toleransi (titisah), dan pengabdian kepada kaum Brahmana (brahmanyam) (sesuai Bhagavad Gita 14.43 dan Bhagavata Purana 11.17.17) serta berprofesi sebagai administrator negara, tentara dan sejenisnya maka dia disebut sebagai Ksatria.

Jika seseorang yang punya kegiatan membajak sawah atau ladang (krsi), memelihara sapi (go raksya), berdagang (vanijyam), berpegang teguh kepada kebudayaan Veda (astikyam), selalu semangat beramal (dana nistha), tidak munafik (adambhah), melayani kaum Brahmana (brahma sevanam), dan semangat mengumpulkan kekayaan (atustir arttopayacair) (sesuai Bhagavad Gita 18.44 dan Bhagavata Purana 11.17.18) maka dia disebut sebagai Vaisya.

Sedangkan seorang disebut Sudra atau kaum buruh jika dia elayani dan membantu (paricara) orang lain sesuai dengan keahlian secara tulus, khususnya melayani para Brahmnana, sapi, para dewa dan pihak lain yang layak dihormati, selalu berpuas hati dengan seberapa pun banyaknya upah yang diperoleh dari kegiatan membantu dan melayani demikian (tatra labdhena santosah) (sesuai Bhagavad Gita 18.44 dan Bhagavata Purana 11.17.18).

Diluar keempat golongan ini, masih dikenal satu golongan lagi, yaitu masyarakat Candala. Masyarakat Candala (lihat Bhagavata Purana 11.17.20) adalah mereka yang tidak mengikuti prinsip-prinsip moral dharma, berupa; tidak melakukan tindak kekerasan (ahimsa), berpegangan teguh pada kejujuran (satyaam), tidak mencuri dan korupsi (asteyam), selalu berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk lain (bhuta priya hitehaca) dan membebaskan diri dari nafsu, kemarahan dan keserakahan (akama krodha lobhasa) (sesuai Bhagavata purana 11.17.21).

Ajaran Veda mendorong setiap orang bekerja secara profesional dalam Varnanya masing-masing dengan menjalankan hak dan kewajiban tanpa mengambil hak dan kewajiban orang lain. Sehingga dengan demikian, seseorang yang sudah memutuskan jalan hidupnya sebagai seorang Brahmana, seyogyanya tetap melakukan profesi dan sikap hidup kebrahmanaan. Sedangkan jika dia adalah seorang penghibur seperti artis, pesulap, pemusik yang termasuk golongan sudra, maka sebaiknya dia profesional dalam bidangnya tanpa harus tertarik untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan, apa lagi pemimpin pemerintahan. (dikutip dari narayanasmrti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar